YPSBS
Seja ngarumat budaya sunda anu luhung
Senin, 09 Juni 2025
Makna Panca Waluya Dalam Kebudayaan Sunda
Makna Panca Waluya Dalam Kebudayaan Sunda: KBRN, Bandung: Ajaran Kebajikan yang terkandung di dalam kebudayaan di Indonesia sangat beragam. Salah satu
Selasa, 14 Mei 2019
Kunjungan Verivikasi YPSBS
Pada hari senin, tanggal 13 Mei 2019, YPSBS telah menerima kunjungan dari utusan mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Ibu Ela. Beliau memeriksa kelengkapan administrasi, dari mulai Akta Yayasan, kelengkapan kepengurusan Yayasan melalui Kartu Keluarga dan KTP, menanyakan sarana yang dimiliki, kegiatan yang dilakukan, hingga Rencana Anggaran Biaya.
Ibu Ella adalah utusan FKK (Fasilitator Kegiatan Kesenian) dari Dirjen Kesenian dan budaya. Beliau memberikan arahan bagaimana cara-cara menyelenggarakan kesenian, supaya genah jeung merenah.
dibawah ini disajikan beberapa Foto dan Videonya :
Sambil nanya-nanya disuguhi penampilan seni kecapian secara spontan
Dan ini adalah atraksi bermain kecapi dengan muka tertutup
Ibu Ella adalah utusan FKK (Fasilitator Kegiatan Kesenian) dari Dirjen Kesenian dan budaya. Beliau memberikan arahan bagaimana cara-cara menyelenggarakan kesenian, supaya genah jeung merenah.
dibawah ini disajikan beberapa Foto dan Videonya :
Dan ini adalah atraksi bermain kecapi dengan muka tertutup
Minggu, 30 Desember 2018
Kesenian Lais kesenian yang mendebarkan
Lais merupakan suatu jenis pertunjukan rakyat di Jawa Barat yang mirip akrobat Tetapi, karena kegiatan apa pun dalam masyarakat Sunda tradisional ini selalu tidak lepas dari kepercayaan penduduknya, maka keterampilan akrobatik yang dilakukan oleh pemain-pemain lais itu pun dipercaya mendapat bantuan gaib. Selain itu, tentu saja lais juga diberi nafas seni dengan dimasukkannya tetabuhan dan dilantunkannya lagu-lagu selama pertunjukan.
Pertunjukan lais terutama mempertontonkan keterampilan satu atau dua orang pemain lais yang berjalan atau duduk di atas tali tambang yang direntangkan di antara dua ujung bambu. Tali tambang tersebut selalu bergoyang dan bambunya pun bergerak-gerak selagi menyangga beban dan gerakan pemain lais tersebut.
Lais terdapat di Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon dan Bandung. Lais dapat disaksikan pada acara-acara kenegaraan, hajatan, pernikahan ataupun khitanan.
Cara penyajian pertunjukan lais dilakukan dengan terlebih dahulu memancangkan dua leunjeur (batang) awi gombong (bambu berbumbung besar) di tanah serta merentangkan tali tambang pada kedua ujung bambu tersebut. Tali tambang kemudian diikatkan pada kedua ujung bambu yang dipancangkan tersebut lalu tetabuhan pun dibunyikan sebagai pembukaan juga sebagai pemberitahuan bahwa permainan akan segera dimulai. Hal ini dilakukan untuk mengundang penonton dan sebagai pemanasan suasana.
Ketika permainan dimulai, sang dukun (pawang) lais pun siap dengan perlengkapan upacaranya, yaitu sesajen (sesajian) dan pedupaan (kukusan). Bersamaan dengan bunyi tetabuhan, dibakarlah kemenyan dalampedupaan tadi serta mantera-mantera pun dibacakan. Upacara ini dimaksudkan agar si pemain lais diberi kekuatan, kelincahan, keterampilan serta keselamatan di dalam permainannya.
Busana yang dikenakan oleh pemain lais yaitu busana yang biasa dipakai oleh wanita seperti kain dan kebaya, terutama pemain lais di Priangan. Dengan langkah gemulai, pemain lais yang menurut kepercayaan mulai kemasukan roh gaib itu menari-nari mendekati salah satu tiang bambu. Ia menyelipkan sebuah payung di pinggangnya. Pada saat itu terjadilah percakapan antara pemain lais dan pawang. Percakapannya yaitu sebagai berikut:
Pawang: “Rek ka mana, Nu Geulis?”(Mau ke mana, Cantik?)
Si Lais : “Apan rek ulin.” (Kan mau main.)
Pawang: “Nyandak naon?” (Membawa apa?)
Si Lais : “Ieu payung bisi panas jeung duwegan bisi halabhab.” (Ini payung kalau-kalau kepanasan dan kelapa muda kalau-kalau kehausan.)
Pawang: “Pek atuh geura amengan.” (Silakan kalau mau main.)
Sambil menari lagi, Si Lias terus mendekati tiang bambu lalu dengan cekatan memanjat tiang bambu tersebut seperti seekor kera. Cara memanjatnya yaitu dengan tidak merapatkan tubuh ke ke batang bambu, melainkan dengan menggunakan tangan dan kakinya.
Ketika Si Lais memanjat batang bambu, tabuhan pengiring dibunyikan semakin keras sampai Si Lais tersebut mencapai puncak batang bambu. Setelah sampai pada tali tambang yang direntangkan, kemudian Si Lais pun duduk di ujung bambu dengan santai dan berleha-leha, lalu ia menyanyi namun hanya suara gumamnya saja tanpa kata-kata. Pawang yang berada di bawah bertanya lagi sambil menengadahkan kepalanya.
Pawang : “Hey, Geulis, keur naon?” (Hey, Cantik, sedang apa?)
Si Lais : “Apan ieu keur senang-senang!” (Kan ini lagi bersenang-senang.)
Pawang : “Cing, Geulis, ngojay kawas bangkong.” (Cobalah, Cantik, kamu berenang seperi katak.)
Si Lais : “Mangga,” sambil tersenyum
Kemudian Si Lais pun menelungkup pada ujung bambu dan menekankan perutnya serta membuat gerakan seperti sedang berenang.
Si Lais : “Aduh capejeung hanaang.” (Aduh ,saya capek dan haus).
Si Lais kemudian duduk lagi pada ujung bambu, lalu membelah kelapa muda yang dibawanya dengan golok. Selain gerak-gerik Si Lais yang terampil itu, kelakuannya pun membuat hati penonton berdebar terutama para penonton wanita. Ketika Si Lais membelah kelapa muda, yang digunakan sebagai tahanan adalah lututnya dan air kelapa itu pun diminum sambil lalagedayan (berleha-leha atau berbaring dengan santai sambil bergoyang kaki). Setelah meminum habis air kelapa muda itu, Si Lais pun turun dengan cara menyusuri bambu dengan meluncur.
Setelah sampai di bawah, Si Lais menari-nari dan golok yang dibawanya diletakkan di dekat para penabuh, kemudian ia naik kembali sampai ke puncak tiang bambu dan berdiri di sana. Ia mengambil payung yang diselipkan di pinggangnya. Dengan menggunakan payung itu, ia meniti(berjalan) di atas tali tambang yang direntangkan tadi.
Di tengah-tengah tambang tersebut ia menari, menyanyi dan mengayun-ayunkan badannya. Atraksi tersebut merupakan puncak dari permainan lais. Banyak diantara penonton yang menahan nafas dan ada pula yang berteriak karena merasa khawatir Si Lais jatuh terutama para penonton wanita. Si Lais berpura-pura memperlihatkan gerakan kalau ia terpelesest, sehingga membuat penonton menjadi histeris. Dalam kepura-puraannya itu ia berceloteh. “Aduuh …… Wah …… Awas,” dan … “La la la,” ia bernyanyi tak henti-hentinya.
Setelah puas mempermainkan penonton, ia pun berjalan menuju ujung yang lain, kemudian sambil berdiri di ujung tersebut ia pun menari mengikuti irama tetabuhan dari bawah.
Setelah selesai, Si Lais pun turun dengan cara meluncur. Tetabuhan dari bawah terus dibunyikan dan peniup terompet pun meniup tarompetnya dengan lagu-lagu yang riang. Hal ini dilakukan untuk memberikan waktu kepada pemain lais untuk beristirahat.
Setelah selesai beristirahat, Si Lais pun kembali memanjat bambu tersebut. Ia memperlihatkan permainannya yaitu dengan berayun-ayun di tengah tambang dengan kaki tergantung. Sambil berjalan di atas tambang, ia membuka pakaian wanita yang dipakainya dengan ngorondang(merangkak).
Setelah menyelesaikan pertunjukannya, ia pun turun kembali menyusuri tambang dan ini merupakan akhir dari pertunjukan lais Si Lais kemudian dibawa ke dalam rumah oleh pawang. Ketika keluar, Si Lais tersebut bersikap seperti biasa dan pakaiannya sudah diganti dengan pakaian biasa.
Pertunjukan lais memakan waktu setengah hari atau bahkan sehari penuh, tergantung kepada yang mengundangnya. Waditra yang digunakan untuk mengiringi pertunjukkan lais sama dengan waditra yang digunakan dalam kendang penca, tetapi ditambah dengan dogdog dan angklung. Para pemain lais terdiri dari laki-laki yang sudah dewasa sebanyak 6 orang, yaitu satu orang pemain lais, satu orang pawang yang kadang-kadang merangkap menjadi pimpinan lais dan yang lainnya adalah para penabuh.
Permainan lais biasanya diadakan di arena terbuka seperti di lapangan atau alun-alun yang tempatnya dianggap luas untuk menancapkan tiang bambu dengan jarak 10-15 meter antara tiang bambu yang satu dengan tiang bambu yang lainnya. Pertunjukan lais bukan merupakan bagian dari suatu upacara. Oleh karena itu, dapat dipanggil setiap saat. Permainan lais ini diturunkan oleh keluarga ke setiap generasi penerusnya.
Lais adalah pentas serupa sintren, tetapi penarinya laki-laki. Berbekal tekad dan bekal keturunan seniman sintren, Indah pun memantapkan hati. Dia belajar dengan tekun dalam sehari agar bisa semaksimal mungkin mementaskan sintren. “Belajarnya dua kali, malam dan pagi hari. Akhirnya, pentas berjalan lancar,” ujar Indah diamini Kursilah.
Saat itu, “guru kilat” Indah adalah sang kakak, Didi Suhandi (40),yang telah sebelumnya sering berperan sebagai lais. Darah kesenian tradisional Cirebonan memang kental pada keluarga itu. Putra bungsu Kursilah, Diding Ruhandi, juga ambil bagian dalam pentas lais dan sintren, sebagai pemain musik.
Kursilah mengatakan, meski sekarang banyak dimainkan anak-anak remaja, faktor keturunan berpengaruh penting dalam kesakralan pentas sintren. “Jika memang ada keturunan, latihan mudah dan hasilnya bagus,” ujarnya.
Sebagai sesepuh Kelompok Suryanegara, Kursilah berusaha mendidik beberapa orang untuk menjadi sintren. “Sejauh ini belum berhasil. Selalu ada kekurangan, seperti gerakan yang tidak luwes,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Kursilah maupun Indah mengatakan, tidak mudah mendidik seseorang menjadi sintren atau lais. Selain faktor keturunan, ketekunan juga harus dijalani seorang sintren dan lais.
“Sebelum berhasil, calon harus puasa,” kata Diding Ruhandi, yang juga staf di Badan Komunikasi dan Pariwisata Kabupaten Cirebon.
Sebagai pemain, Indah mengatakan ada unsur magis dalam pentas sintren. Tanpa unsur itu, sulit bagi seseorang-dalam kondisi terikat- ganti baju, dan mendandani muka dalam waktu singkat. Terlebih, aktivitas itu dilakukan dalam kurungan ayam yang ukurannya terbatas.
“Untuk berdiri saja tidak bisa,” kata Indah, yang sehari-hari menjadi pengolah rajungan.
Pegiat seni Indramayu, Acep Syahril, berpendapat, ada teknik tertentu yang bisa dipelajari dalam melepas tali dan berdandan.
Namun, menurut Indah, setiap saat “menjadi” sintren, ia dalam kondisi setengah sadar. Kondisi itulah yang memungkinkan dirinya berdandan total dalam waktu sangat singkat, sekitar tiga menit. “Dalam kondisi normal, waktu segitu tidak cukup meski untuk ganti baju saja,” ujar Indah. Sintren “buhun”
“Kursilah mengatakan, sejauh ini kelompoknya mempertahankan keaslian kesenian sintren. “Makanya dinamakan sintren buhun (kuno),” ujar Kursilah.
Hal itu ditunjukkan dengan terbatasnya alat musik yang digunakan, hanya lima jenis, yaitu buyung kecil dan buyung besar, tutukan, kecrek, dan keneng.
Selain mempertahankan keaslian, Kursilah juga membatasi jumlah pementasan, hanya untuk acara resmi. “Kami tidak melayani permohonan tampil pada acara hajatan,” ujarnya. Mereka tidak hanya tampil di Cirebon, tetapi juga di Bandung dan Jakarta.
Sering tampil di depan tamu kabupaten membuat Indah merasa bangga. “Waktu ada acara yang dihadiri orang Mesir, mereka kagum dan sempat tidak percaya. Namun, setelah melihat ikatan talinya, mereka percaya,” kata Indah.
Bila tampil dalam acara resmi, waktu pentas terbatas. “Paling setengah jam saja, padahal penonton ingin lebih lama,” kata Kursilah. “Padahal, bila pentas lebih lama, sawernya tambah banyak,” katanya. Sekali pentas, saweran bisa sampai jutaan rupiah.
Kesenian Lais Diambil Dari Nama Seseorang Yang Sangat Terampil Dalam Memanjat Pohon Kelapa Yang Bernama ‘Laisan” yang sehari – hari dipanggil Pak Lais. Atraksi yng ditontonkan mula-mula pelais memanjat bambu lalu pindah ke tambang sambil menari-nari dan berputar di udara tanpa menggunakan sabuk pengaman, sambil diiringi tetabuhan seperti dog-dog, gendang, kempul dan terompet. Kesenian ini sudah ada sejak Jaman Penjajahan Belanda.
Kesenian ini merupakan sebuah kesenian pertunjukan akrobatik dalam seutas tali sepanjang 6 meter yang dibentangkan dan dikaitkan diantara dua buah bamboo dengan ketinggian 12 sampai 13 meter.
Kesenian Lais di ambil dari nama seseorang yang sangat terampil memanjat pohon kelapa yang bernama ”Laisan” yang sehari-hari di panggil Pak Lais. Lais ini sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, tempatnya di Kampung Nangka Pait, Kec. Sukawening. Atraksi yang di tontonkan mula-mula pelais memanjat bambu lalu pindah ke tambang sambil menari-nari dan berputar di udara tanpa menggunakan sabuk pengaman dengan diiringi musik reog, kendang penca, dog-dog dan terompet.
Kesenian Lais di ambil dari nama seseorang yang sangat terampil memanjat pohon kelapa yang bernama ”Laisan” yang sehari-hari di panggil Pak Lais. Lais ini sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, tempatnya di Kampung Nangka Pait, Kec. Sukawening. Atraksi yang di tontonkan mula-mula pelais memanjat bambu lalu pindah ke tambang sambil menari-nari dan berputar di udara tanpa menggunakan sabuk pengaman dengan diiringi musik reog, kendang penca, dog-dog dan terompet.
sumber tulisan : https://amochiqal89.wordpress.com/2008/04/16/kesenian-lais/
Sumber visual :https://www.youtube.com/watch?v=1Ew2uAwzVd0
Jumat, 28 Desember 2018
Sekilas Mengenal Citarum Harum
Oleh : Drs. Iwan Rudi Setiawan, MM
Sekretaris Umum YPSBS
Sungai Citarum adalah sungai terpanjang
di Jawa Barat, dengan panjang 300
Km. berawal dari Cisanti Kabupaten Bandung dan berakhir di kabupaten karawang. Secara
tradisional, hulu Citarum dianggap berawal dari lereng Gunung Wayang, di
tenggara Kota Bandung, di wilayah Desa Cibeureum, Kertasari, kabupaten
Bandung. Ada tujuh mata air yang menyatu
di suatu danau buatan bernama Situ
Cisanti di wilayah Kabupaten Bandung. Namun, berbagai anak sungai juga
menyatukan alirannya ke Citarum, seperti Cikapundung
dan CiBeet. Alirannya kemudian mengarah ke arah barat, melewati
Majalaya dan Dayeuhkolot, lalu berbelok ke arah barat laut dan utara, menjadi
perbatasan Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Bandung Barat, melewati Kabupaten
Purwakarta, dan terakhir Kabupaten Karawang (batas dengan Kabupaten Bekasi).
Sungai ini bermuara di Ujung Karawang.
Berikut ini adalah sebagian dari anak
sungai yang mengalir ke Ci Tarum:
Ci Beet
Ci Kao
Ci Somang
Ci Kundul
Ci Balagung
Ci Sokan
Ci Meta
Ci Minyak
Ci Lanang
Ci Jere
Ci Haur
Ci Mahi
Ci Beureum
Ci Widey
Ci Sangkuy
Ci Kapundung
Ci Durian
Ci Pamokolan
Ci Tarik
Ci Keruh
Ci Rasea.
Dalam perjalanan sejarah Sunda, Citarum
erat kaitannya dengan Kerajaan Taruma, kerajaan yang menurut catatan-catatan
Tionghoa dan sejumlah prasasti pernah ada pada abad ke-4 sampai abad ke-7.
Komplek bangunan kuno dari abad ke-4, seperti di Situs Batujaya dan Situs
Cibuaya menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman di bagian hilir.
Sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu dari abad ke-1 Masehi juga ditemukan di bagian
hilir sungai ini.
Sejak runtuhnya Taruma, Citarum menjadi
batas alami Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma,
sebelum akhirnya bersatu kembali dengan nama Kerajaan Sunda.
Keadaan lingkungan sekitar Citarum telah
banyak berubah sejak paruh kedua dasawarsa 1980-an. Industrialisasi yang pesat
sejak akhir 1980-an di kawasan sekitar sungai ini telah menyebabkan menumpuknya
limbah buangan pabrik-pabrik di Citarum.
Setiap musim hujan wilayah Bandung
Selatan di sepanjang Ci Tarum selalu dilanda banjir. Setelah kejadian banjir
besar yang melanda daerah tersebut pada tahun 1986, pemerintah membuat proyek
normalisasi sungai Ci Tarum dengan mengeruk dan melebarkan sungai bahkan
meluruskan alur sungai yang berkelok. Tetapi hasil proyek itu tampaknya sia-sia
karena setelahnya tidak ada perubahan perilaku masyarakat sekitar, sehingga
sungai tetap menjadi tempat pembuangan sampah bahkan limbah pabrik pun mengalir
ke Ci Tarum. Bertahun kemudian, keadaan sungai bahkan bertambah buruk, sempit
dan dangkal, penuh sampah, dan di sebagian tempat airnya pun berwarna hitam
pekat.
Forum Tujuh Tiga (Fortuga) Institut
Teknologi Bandung (ITB) merupakan titik awal perjalanan menyusuri Sungai
Citarum. dengan menggunakan perahu karet selama tujuh hari mulai Senin (13/5)
hingga Ahad (19/5). Setiap kelokan sungai yang memiliki sejarah dan titik rawan
pencemaran limbah dicatat untuk dijadikan bahan kajian. Tujuannya adalah ingin
mengetahui kadar kualitas di hulu hingga hilir sungai terpanjang di Jabar ini.
Berdasarkan hasil kajian tim Fortuga,
bahwa tercemarnya sungai citarum yang sangat berat terjadi mulai dari wilayah
kopo sampai ke curug jompong, hal ini diakibatkan banyaknya pabrik-pabrik
disekitar bantaran sungai Citarum yang membuang limbahnya ke sungai citarum.
Tercemarnya sebuah sungai akan terlihat
dari warna sungai tersebut, kemudian adanya bau yang menyengat dan terakhir
tumbuhnya gulma di atas permukaan air seperti tumbuhnya eceng gondok.
Upaya yang dilakukan dalam mengembalikan
kondisi citarum dengan melakukan pengerukan, penyodetan tempat-tempat yang bisa
menghambatnya aliran sungai, dan melakukan penanaman hutan kembali. Namun
sayang seribu sayang, dana yang mencapai milyaran rupiah tersebut masih belum membuahkan hasil yang
diharapkan agar sungai Citarum bersih, dan dapat diminum langsung.
Perhatian tentang kondisi sungai citarum
ini sudah mulai digaungkan oleh Bapak
Solihin GP (semasa jadi Gubernur Jawa barat), Ahmad Heryawan, hingga diteruskan
oleh Ridwan Kamil, bahkan presiden Jokowi pun turun tangan sampai mengeluarkan
Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2018
tentang Percepatan pengendalian pencemaran dan kerusakan Das Citarum .
Dalam perpres tersebut. Disebutkan bahwa
Sungai Citarum merupakan sungai strategis nasional, dan sudah terjadi
pencemaran dan keruksakan lingkungan sehingga mengakibatkan terjadinya
kerugian yang besar. bahwa untuk penanggulangan pencemaran dan
kerusakan DAS Citarum perlu diambil langkah-langkah percepatan dan strategis
secara terpadu untuk pengendalian dan penegakan hukum, yang mengintegrasikan
kewenangan antarlembaga pemerintah dan pemangku kepentingan terkait guna
pemulihan DAS Citarum;
Untuk melakukan percepatan Pengendalian
Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum secara terpadu dibentuk Tim Pengendalian
Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum, yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden
ini disebut Tim DAS Citarum.
Tim DAS Citarum bertugas mempercepat
pelaksanaan dan keberlanjutan kebijakan pengendalian DAS Citarum melalui
operasi pencegahan, penanggulangan pencemaran dan kerusakan, serta pemulihan
DAS Citarum secara sinergis dan berkelanjutan dengan mengintegrasikan program
dan kegiatan pada masingmasing kementerian/lembaga dan pemerintah daerah
termasuk optimalisasi personel dan peralatan operasi.
Kegiatan ini didukung oleh berbagai
kementrian, Panglima TNI, Kepolisian, hingga kejaksaan. Adapun pelaksana tugas
ini diserahkan kepada Satuan Tugas (Satgas) dibawah komado Gubernur Jawa Barat,
Pangdam III Siliwangi, Pangdam Jayakarta, Kepolisian Daerah Jawa Barat,
Metropolitan Jakarta, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa barat.
Dalam pelaksanaannya Satgas berwenang
seperti dalam pasal 9 ayat 2 menyatakan Dalam melaksanakan tugasnya, Satgas
berwenang:
a. menetapkan rencana aksi
pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum denganberpedoman pada
kebijakan yang ditetapkan Pengarah;
b. melokalisasi dan
menghentikan sumber pencemaran dan/atau kerusakan Sungai Citarum;
c. meminta keterangan, data
dan/atau dokumen termasuk memasuki dan memeriksa pabrik, tempat usaha,
pekarangan, gudang, tempat penyimpanan, dan/atau saluran pembuangan limbah pabrik/tempat
usaha sewaktu-waktu diperlukan;
d. mencegah dan melarang
masyarakat untuk masuk kembali untuk mendirikan permukiman di wilayah yang
memiliki fungsi lindung;
e. membentuk Komando Sektor
yang dipimpin oleh perwira Tentara Nasional Indonesia sebagai Komandan Sektor;
f. membagi wilayah kerja DAS
Citarum berdasarkan Komando Sektor;
g. mengikutsertakan mengikutsertakan kementerian / lembaga, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat dalam pelaksanaan tugas Komando Sektor, disesuaikan dengan
kebutuhan pelaksanaan operasi penanggulangan, pencegahan, dan pemulihan ekosistem
DAS Citarum, serta penindakan hukum;
h. memerintahkan Komando Sektor
untuk melaksanakan operasi penanggulangan pencemaran dan kerusakan DAS Citarum
di lokasi yang ditentukan oleh Satgas; dan
i. melakukan kegiatan
pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum sesuai dengan tugas dan kewenangan
Satgas apabila rencana aksi sebagaimana dimaksud pada huruf a belum ditetapkan.
Sahlah sudah program Citarum Harum
bestari ini, sehingga nama satgasnya menjadi Satgas Citarum Harum Bestari.
Selanjutnya apakah masyarakat terlibat
di dalamnya. Dalam BAB VII pasal 18
tentang keterlibatan masyarakat, bahwa masyarakat berpartisipasi dalam upaya
pencegahan, penanggulangan pencemaran dan kerusakan, serta pemulihan DAS
Citarum. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas individu,
organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, filantropi, pelaku usaha,
akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan demikian, maka nyatalah disini
bahwa masyarakatpun perlu dilibatkan, karena apa gunanya terjadinya sebuah
perbaikan apabila perbaikan-perbaikan tersebut tidak dirawat, dijaga dan dipelihara . Sehingga pola pikir
masyarakat harus dirubah untuk tidak meruksak, mencemari aliran sungai Citarum
ini.
Yayasan Pengembangan Seni Budaya Sunda
(YPSBS) sangat peduli akan kondisi lingkungan sekitarnya. Apalagi lokasi YPSBS
berdekatan dengan Saguling, sehingga dipandang perlu untuk turut menjaga,
merawat dan memeliharanya.
Apa action dari YPSBS terhadap
lingkungan tersebut. Kita nantikan aksi berikutnya yang membikin orang-orang
terinspirasi. Bila diikuti maka Citarum Harum dan bestari akan terwujud.
Semoga
Inilah penampakan YPSBS melakukan gerakan Citarum Harum bersama masyarakt Sukatani Cililin, Babinsa Koramil Cililin dan Anggota Satgas Citarum Bersih, disekitar area Waduk Saguling.
Selasa, 25 Desember 2018
Upacara Adat Mapag Panganten di YPSBS
Sebuah rasa yang mengungkapkan rasa kegembiraan dan rasa bersyukur terhadap Alloh Subhanahu Wa Ta ala, manusia mengungkapkannya dengan berbagai cara, Demikianpun masyarakat sunda yang sering mengungkapkan rasa bersyukurnya dengan melakukakan ritual atau upacara adat.
Upacara adat ini berbagai jenis acara, tergantung bentuk dari peristiwa yang terjadi, yang sering dilakukan adalah upacara adat Mapag Panganten, dimana tuan rumah sebagai panganten awewe, menyambut kedatangan calon panganten lalaki.
Upacara adat mapag panganten ini merupakan acara sakral namun menghibur buat yang menghadirinya, dan ini merupakan simbul dari kesetrataan sosial, semakin meriah acara tersebut maka semakin tinggi tingkat kesetraannya.
Yayasan Pengembangan Seni Budaya Sunda (YPSBS), sudah sering menerima panggilan untuk upacara adat mapag panganten ini.
Untuk paket Upacara adat sunda mapag panganten diantaranya adalah :
1.Penari Badaya atau Merak
2.Penari Baksa
3.Penari Aki dan Nini lengser
4.Penari Payung Agung
5.Penari Rama dan Shinta
6.Rampak Kendang
7.Upacara adat sunda,sawer,sungkem, meuleum harupat/injak telur, huap lingkung, taribakakak
8. MC akad dan Resepsi
9.Siraman
10.Sounds sistem
Serahkan pada team kami agar hari bahagia anda menjadi manis dan indah untuk di kenang
untuk informasi lebih lengkap silahkan Tlp.WA 081389048362Abah Wasta.


Upacara adat ini berbagai jenis acara, tergantung bentuk dari peristiwa yang terjadi, yang sering dilakukan adalah upacara adat Mapag Panganten, dimana tuan rumah sebagai panganten awewe, menyambut kedatangan calon panganten lalaki.
Upacara adat mapag panganten ini merupakan acara sakral namun menghibur buat yang menghadirinya, dan ini merupakan simbul dari kesetrataan sosial, semakin meriah acara tersebut maka semakin tinggi tingkat kesetraannya.
Yayasan Pengembangan Seni Budaya Sunda (YPSBS), sudah sering menerima panggilan untuk upacara adat mapag panganten ini.
Untuk paket Upacara adat sunda mapag panganten diantaranya adalah :
1.Penari Badaya atau Merak
2.Penari Baksa
3.Penari Aki dan Nini lengser
4.Penari Payung Agung
5.Penari Rama dan Shinta
6.Rampak Kendang
7.Upacara adat sunda,sawer,sungkem, meuleum harupat/injak telur, huap lingkung, taribakakak
8. MC akad dan Resepsi
9.Siraman
10.Sounds sistem
Serahkan pada team kami agar hari bahagia anda menjadi manis dan indah untuk di kenang
untuk informasi lebih lengkap silahkan Tlp.WA 081389048362Abah Wasta.


Jumat, 12 Oktober 2018
Degung sunda dahulu dan sekarang
1. Sejarah Gamelan Degung
Dalam sejarah gamelan degung (sunda), degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar pada akhir abad ke-18 atau pada awal abad ke-19.
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/ awal abad ke 19 Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat) Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Kerajaan Galuhmisalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Masyarakat Sunda menduga dan mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “De gong” (gamelan, bahasa Belanda). Di dalam kamus ini, “de gong” mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Arti Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau Goong di Banten yaitu Gamelan, Gamelan merupakan sekelompok waditra dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul.
Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menunjukan bahwa akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mandalungan/Kobongan/Mataraman)
Ada anggapan lain sementara orang bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, seperti dimaklumi bahwa Gamelan Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu, misalnya bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan beliaulah yang sempat mendokementasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.
Ada pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya menunjukan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung, Agung, Tumenggung, dsbnya. Sehingga Degung memberikan gambaran kepada orang Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.
Mula mula Degung merupakan karawitan gending, penambahan waditrapun berkembang dari jaman ke jaman. Pada tahun 1958 barulah dalam bentuk pergelarannya degung menjadi bentuk sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu dan bonang kadangkala sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak tercapai oleh Sekar. Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang menjadikan degung seperti sekarang ini.
Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “de gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung pengertian: penclon-penclon yang digantung. Menurut Entjar Tjarmedi dalam bukunya Pangajaran Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah gong kecil yang biasanya digantung pada sebuah gantungan yang disebut dengan rancak. Menurut beliau istilah “gamelan Degung” diambil dari nama waditra tersebut, yang kini lebih dikenal dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).
Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain kamus H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst, Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa ketika kamus itu dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).
Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenai Perkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng (Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).
2. Istilah “Degung”
Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na(3), dan ti (4)). Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.
Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E.Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung “Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh para pangagung(bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)
Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu Degung merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.
- 3. Struktur waditra / instrumen
Pada awal pemerintahan Dalem Haji sebagai bupati Bandung, ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang, cecempres (saron/panerus), jengglong (degung), dan goong. Namun atas usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah Atma, para seniman karawitan Bandung yang sudah membentuk grup “Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919), perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang, dan suling. Usul ini disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada tanggal 18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung.
Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala RRI Bandung), ketika menggunakan gamelan Degung untuk mendukung gending karesmen berjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab. Lalu pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Barubahkan memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini tidak bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisional pada garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan sulingyang masih bertahan sampai sekarang.
Dilihat dari bentuknya, waditra bonang, jenglong, dan goong berbentuk penclon, yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon (alat pukul) dengan sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra cecempres dan peking berbentuk wilahan(bilah), yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon dengan sub klasifikasi metalofon. Sementara waditra suling termasuk aerofon, dan kendang termasuk membranofon. Klasifikasi ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari teori Sachs/Hornbostel (1914:6).
Banyaknya penclon pada waditra bonang biasanya antara 14 sampai dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da) terendah sebanyak 3 gembyang(oktaf). Penclon-penclon ini disusun di atas rancak (penyangga), dengan menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi) di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan dengan urutan nada pada laras (tangga nada) Degung. Bonang bertugas sebagai pembawa melodi pokok yang merupakan induk dari semua waditra lainnya. Pangkat (intro) lagu Degung dimulai dari waditra ini.
Penclon pada waditra jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus (wilayah nada) yang lebih rendah dari bonang. Penclon-penclon ini digantung dengan tali pada rancak yang berbentuk tiang gantungan (lihat gambar 4 di belakang-kanan). Jenglong bertugas sebagai balunganing gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi bonang.
Gong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan goong (gong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak (lihat gambar 8 di belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain, sementara goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada gong sangat rendah, bertugas sebagai pengatur wiletan (birama) atau sebagai tanda akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu. Goong disebut juga sebagai pamuas lagu.
Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas rancak yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain. Cecempres bertugas sebagai rithm (patokan nada) yang menegaskan melodi bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan.
Adapun jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres, namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga sagembyang: kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari cecempres, yakni sebagai pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres dipukul tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih ber-improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanis lagu. Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan waditra tambahan.
Seperti halnya peking, waditra kendang dan suling juga merupakan tambahan. Pada awalnya kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti pada orkestra Barat. Namun permainan kendang pada lagu-lagu Degung sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini menyebabkan penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam permainan suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi kurang menikmati melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran peking, kendang, dan suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi apresiator yang belum pernah mendengar lagu-lagu Degung.
Bahan dasar pembuatan bonang, cecempres, peking, jenglong, dan goong yang paling baik kualitas suaranya adalah dari logam perunggu (campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang menggunakan bahan dasar logam kuningan dan besi. Namun kedua logam tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam perunggu. Kualitas logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan terhadap cuaca.
4. Laras / Tangga Nada
Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengan tangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara satu nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak 1200 sen.
Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada musik Barat penomoran nada diatur naik dari nada rendah ke nada tinggi (berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).
Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog, laras salendro(yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras madenda/sorog, dan laras Degung(yang kedua terakhir ini hanya dikenal di daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan swarantara pada laras Degung.
5. Pola Tabuhan
Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan bonangnya yang menggunakan teknik gumekan. Pola tabuhan bonang inilah yang mewakili ekspresi melodi utama musik instrumental Degung seperti permainan piano pada musik klasik Barat. Ketrampilan kedua tangan pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada orkestra ini.
Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik menggunakan teknik dikemprang atau dicaruk. Namun teknik dicaruk lebih sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung, sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan.
Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau carukan pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah orkestra yang berbentuk instrumental dengan bonang sebagai ‘induk’nya, sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk sekar atau tarian.
6. Repertoar Degung
Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama, repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan bonang sebagai ekspresi melodi; kedua, repertoar Degung non klasik – oleh Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).
Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan untuk mengiringi sekar, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang diisi rampak sekar (vokal grup).
Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, dan madakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra bonang. Eusi adalah melodi pokok yang merupakan isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.
Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la) rendah. Di dalam eusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.
Beberapa contoh repertoar Degung yang diciptakan oleh R.A.A. Koesoemahningrat V (Dalem Pancaniti: 1834-1868) dan R.A.A. Prawadiredja II (Dalem Bintang: 1868-1910) pada Album Serial Degung produksi PT. Gema Nada Pertiwi tahun 2002 adalah: 1) Mangari, 2) Maya Selas, 3) Lalayaran, 4) Palsiun, 5) Genye, 6) Paturay, 7) Ayun Ambing, 8) Sang Bango, 9) Paksi Tuwung, 10) Lambang, 11) Manintin, 12) Jipang Prawa, 13) Palwa, 14) Kadewan, 15) Banteng Wulung, 16) Beber Layar, 17) Kulawu, 18) Padayungan, 19) Ladrak, 20) Balenderan, 21) Papalayon, 22) Mangu-Mangu Degung, 23) Jipang Lontang, 24) Gegot, 25) Sulanjana, 26) Karang Mantri Kajineman, 27) Gunung Sari, 28) Banjaran, 29) Kunang-Kunang, 30) Celementre, 31) Renggong Buyut, dan 32) Senggot (Volume 1 s/d 7). Beberapa merupakan hasil recomposed (arransemen ulang) oleh Abah Idi.
Abah Idi dalam perjalanannya sebagai tokoh Degung awal abad XX, pernah membuat ciptaan asli (bukan recomposed), yakni: 1) Sangkuratu, 2) Duda, 3) Galatik Mangut, dan 4) Ujung Laut. Sementara Entjar Tjarmedi, sebagai salah seorang tokoh yang pernah ‘menyelamatkan’ Degung pada awal tahun 1950-an dengan siaran rutinnya di RRI Bandung, tercatat juga sebagai komposer repertoar Degung dengan lagu-lagu: 1) Kahyangan, 2) Layungsari, 3) Pajajaran, 4) Kidang Mas, 5) Lengser Midang, 6) Pulo Ganti, 7) Kajajaden, 8) Lambang Parahyangan, dan 9) Purbasaka. Nama-nama komposer lainnya yaitu: Abah Atma yang menciptakan lagu 1) Maya Selas dan 2) Paron; Abah Absar lagu 1) Karang Kamulyan dan 2) Hayam Sabrang; U. Tarya lagu 1) Seler Degung; Hj. Siti Rokayah lagu 1) Sinangling Degung.
Adapun repertoar non klasik/Degung Baru sangat banyak jumlahnya. Sangatlah tidak mungkin untuk dituliskan semuanya dalam paper ini. Namun sebagai sekedar contoh yang paling mewakili jenis tersebut adalah karya Nano S. dengan grup “Gentra Madya”nya berupa album kaset Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984), dan Kalangkang (1986) yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana.
Dari judul-judul repertoar musik Degung di atas (dalam bahasa Sunda), bisa kita lihat bahwa musik Degung hampir seluruhnya menggambarkan suasana alam pegunungan, apalagi setelah kita mendengarkan lagu-lagunya yang mengalun lembut. Namun sangat disayangkan, bahwa musik Degung pada zaman sekarang sudah jarang diminati oleh masyarakat Sunda sendiri, sehingga keasliannya terancam punah. Yang disebut musik Degung sekarang hanyalah waditra gamelannya, sedangkan lagu-lagunya kebanyakan sudah bukan lagu-lagu Degung klasik dalam bentuk musik intrumentalia lagi. Para pangrawit Degung juga kebanyakan adalah para pangrawit gamelan Pelog-Salendro.
6. Perkembangan Gamelan degung
Perkembangan dari kesenian Gamelan Degung (Sunda), dulu gamelan degung hanya dimainkan dengan cara ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912-1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena hal itu membuat suasana menjadikurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diizinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan akhirnya permohonan itu diizinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan.
Pada tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng, oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit.
Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Pada tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya :
1.Panglayungan(1977)
2.Puspit (1978)
3.Naon Lepatna (1980)
4.Tamperan Kaheman (1981)
5.Anjeun (1984)
6.Kalangkang, yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).
1.Panglayungan(1977)
2.Puspit (1978)
3.Naon Lepatna (1980)
4.Tamperan Kaheman (1981)
5.Anjeun (1984)
6.Kalangkang, yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).
L agu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an), para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng). Tapi sekarang para penyanyi degung sejak 1970-an kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya :
1.Euis Komariah 5. Barman Syahyana
2.Ida Widawati 6. Didin S. Badjuri
3.Teti Afienti 7. Yus Wiradiredja
4.Mamah Dasimah 8. Tati Saleh dan sebagainya.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an), para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng). Tapi sekarang para penyanyi degung sejak 1970-an kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya :
1.Euis Komariah 5. Barman Syahyana
2.Ida Widawati 6. Didin S. Badjuri
3.Teti Afienti 7. Yus Wiradiredja
4.Mamah Dasimah 8. Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu degung di antaranya:
1.Palwa
2.Palsiun
3.Bima Mobos (Sancang)
4.Sang Bango
5.Kinteul Bueuk
6.Pajajaran
7.Catrik
8.Lalayaran
9.Jipang Lontang
10.Sangkuratu
11.Karang Ulun
12.Karangmantri
13.Ladrak
14.Ujung Laut
15.Manintin
16.Beber Layar
17.Kadewan
18.Padayungan, dan sebagainy
1.Palwa
2.Palsiun
3.Bima Mobos (Sancang)
4.Sang Bango
5.Kinteul Bueuk
6.Pajajaran
7.Catrik
8.Lalayaran
9.Jipang Lontang
10.Sangkuratu
11.Karang Ulun
12.Karangmantri
13.Ladrak
14.Ujung Laut
15.Manintin
16.Beber Layar
17.Kadewan
18.Padayungan, dan sebagainy
Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya:
1.Samar-samar
2.Kembang Ligar
3.Surat Ondangan
4.Hariring Bandung
5.Tepang Asih
6.Kalangkang
7.Rumaos
8.Bentang Kuring, dan sebagainya.
Sedangkan Perkembangan Gamelan Degung (Sunda) di luar Indonesia, dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.
sekilas untuk mendengarkan bisa dibuka disini
Sumber tulisan https://kancasora.wordpress.com/2012/10/10/sejarah-gamelan-degung-sunda/
Advertisements
Langganan:
Postingan (Atom)